Minggu, 08 Juli 2012

Cerita : Nasib dan Takdir by Shinichi


Sejak kecil gue selalu bertanya kenapa singa berteman dengan singa, kenapa zebra bergaul dengan zebra, kenapa monyet hanya kawin dengan monyet, kenapa anjing hanya punya nabsu birahi dengan anjing, kenapa anjing tidak pernah kawin dengan tikus, akankah ini sebuah takdir?

Gue bertanya apa sih takdir itu? Yang gue tau takdir adalah ketetapan Allah SWT dan manusia baru tahu bahwa itu takdir setelah peristiwa itu terjadi. Jadi bahwa gue seorang laki laki yang dilahirkan dari ibu gue itulah takdir. Takdir berbeda dengan nasib, nasib bisa dirubah, bahkan Allah SWT memerintahkan makhluknya untuk merubah nasib. Kita miskin, kaya, pintar, bodoh itulah nasib, bisa dirubah asal ada kemauan dan tentunya disertai doa kepada Allah SWT.

Gue semenjak kecil sangat deket dengan kakek gue, karena dulu bokap sempat kerja di luar negeri dan luar kota, sangat jarang ada di Jakarta. Nyokap pun sering nemenin bokap ke luar negeri atau luar kota. Jadi kakek gue sering datang ke Jakarta untuk mengawasi gue dan kakak kakak. Diantara anak anak bokap yang lain memang kakek gue paling deket dengan gue. Begitu datang dia pasti selalu nyari gue dulu, mana si Muhammad? Katanya. Gue memang selalu dipanggil Muhammad oleh kakek gue ini. Biasanya setelah itu kamu masuk ke kamar asik berdiskusi atau kakek gue mendongengkan cerita. Gue selalu diwanti wanti oleh kakek gue untuk menjadi muslim. Kamu harus jadi orang Islam yang bener kata kakek gue. Malah dia berharap gue kelak bisa menjadi Dai. Sering gue didongengkan cerita tentang pahlawan pahlawan Islam, tentang sejarah para Nabi. Kakek gue sering secara sengaja meninggalkan buku buku agama atau menggeletakkan saja buku agama di atas meja. Dia mungkin tau rasa ingin tau gue sangat tinggi dan gue pasti akan baca buku buku tersebut. Biasanya setelah gue baca buku tersebut, gue suka dibimbing oleh kakek gue tentang maksud dari buku itu sekalian menjawab pertanyaan pertanyaan yang gue ajukan. Gue juga diajarin ngaji, shalat dan pengetahuan agama lainnya oleh kakek gue ini.

Begitu gue masuk ke SMA gue menemukan suatu masyarakat yang plural, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Budha bahkan ada juga Hindu. Gue malah banyak berkawan dengan teman yang beragama Katolik dan Protestan sekalipun gue adalah anggota simpatisan Rohis. Kami saling menghormati agama masing dan tidak pernah ada masalah soal itu.

Sesuatu menjadi berbeda ketika gue jatuh cinta dengan seorang gadis yang beragama Katolik. Gue sih nggak berpikir macam macam maklum waktu itu gue masih kelas 1 SMA. Yang ada dipikiran gue waktu itu, yang penting gue merasa bahagia kalau bisa melihat dan berada dekat dengannya. Mulailah ada tentangan dari lingkungan terutama temen temen Rohis gue. Ngapain sih antum pacaran sama perempuan Nashara? Kata mereka. Ingat budak yang hitam legam tapi muslimah jauh lebih baik daripada perempuan cantik tapi kafir sahut yang lain. Kapal itu harus satu arah biar bisa mencapai tujuan, sementara agama antum sama dia aja udah beda mana bisa sampai tujuan yang ada malah karam, sambut teman yang lain menasehati.

Semua nasehat itu menjadikan gue bimbang, akhirnya gue putus sama pacar gue itu. Tapi karena mungkin cinta kita terlalu mendalam akhirnya kami menyatu lagi. Yang ada dipikiran gue waktu itu “udalah jalani aja”. Ditambah keyakinan gue bahwa cinta pasti menemukan jalannya sehingga gue semakin yakin untuk menjalani hubungan ini. Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu semakin lama gue semakin sayang sama pacar gue itu, sementara perbedaan keyakinan kita semakin tajam. Pernah dia menyuruh gue untuk belajar agama Katolik, dia berharap gue bisa pindah ke agama yang dia anut. Buat gue yang dari kecil sudah dididik secara militan oleh kakek gue untuk menjadi muslim hal ini sangat berat. Terjadi perang antara keyakinan dan cinta, hal ini sangat berat untuk gue. Akhirnya gue hanya membeli waktu saja, menjalani sesuatu tanpa suatu kepastian.

Gue paling benci dalam posisi seperti ini seolah olah gue adalah seorang petualang yang mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Mengharapkan kami bisa satu keyakinan, mengharapkan kami bisa membentuk keluarga yang sakinah seperti mimpi buat gue. Dia keras dengan keyakinannya dan gue keras dengan keyakinan gue akhirnya yang terjadi adalah” cul de sac” ( jalan buntu ). Mengharapkan dia berpindah keyakinan adalah sesuatu yang tidak pasti sementara buat gue, berpindah keyakinan adalah hal yang tidak mungkin. Kalau kami jalan dengan agama masing masing bagaimana dengan anak anak gue nanti? Bagaimana dengan doktrin keagamaan bahwa menikah dengan non muslim adalah haram?

Gue teringat kembali ke pertanyaan gue waktu masih kecil, mungkin sudah takdir bahwa Singa dan zebra tidak pernah akan kawin. Memang tidak ada yang salah dengan perbedaan, tapi ternyata berbeda itu bisa sangat menyakitkan.
  • Share
  • [i]

1 komentar: